Belum juga hari ini selesai dijalani, tapi pikiran ini sudah terasa berat. Memikirkan apa yang akan dilakukan esok hari. Tidak, saya tak bisa berdiam diri. Menyerah pada keadaan bahwa apa yang harus saya selesaikan terasa berat.
Tak ada pekerjaan yang mudah. Semua pekerjaan memiliki resikonya sendiri. Mungkin terlalu sering kita melihat orang lain sampai lupa. Bahwa orang lainpun akan melihat kita. Seolah-olah masalah hanya milik kita padahal tiap orang punya masalahnya masing-masing.
Tinggal bagaimana kita menempatkan diri. Apakah melihat sesuatu dengan cara yang pesimis atau optimis. Bila kita melihat masalah secara optimis, pasti timbul keyakinan segala sesuatunya ada hikmahnya. Berbeda bila kita melihat masalah secara pesimis, pasti dunia itu terasa gelap. Harapan yang kita damba sudah sirna.
Coba perhatikan, diri kita sendiri atau orang yang ada disekitar kita. Manakala sedang memiliki masalah pasti rambutnya acak-acakan. Tak terasa secara reflek tangan ini mampir ke kepala dan berputar-putar.
Naluri setiap manusia, pikiran yang kacau akan menghasilkan perbuatan yang kacau pula. Bila hal ini terjadi secara terus menerus pasti menjadi sesuatu yang khas, meski banyak pula orang lain yang mengikutinya.
Memang apa yang khas saat ini bukan sesuatu yang unik. Ia hanyalah sesuatu yang sering nampak dan menjadi penanda. Agar di ingat orang lain, bila ada hal yang berbuat serupa kita akan bilang, “kamu itu mirip…..!”
Kalimat yang cukup populis untuk menggeneralisasi apa yang kita lihat pada orang di sekitar kita. Kebiasaan mengkotak-kotakan sesuatu yang kita lihat pada apa yang telah ditentukan masyarakat. Masyarakat kita yang lumayan latah menanggapi perkembangan jaman.
Kebiasaan yang kelak menjadi culture, akibat diamini orang-orang yang ada di sekitarnya. Semoga anggapan saya di atas salah. Yang terjadi saat ini lebih didasari kesadaran akan akibat-akibat bila hal itu di pilih. Bukan satu pandangan sesaat yang bias dan menyilaukan mata.
Membuat penglihatan kita kabur, apa yang kita lihat bukanlah sesuatu yang sebenarnya. Sesuatu yang nisbi dari kejadian yang nisbi.
Sabtu, 13 Juni 2009
Minggu, 07 Juni 2009
Bukan Perjalanan Hidup
Teringat beberapa anak yang sedang mengikuti pendidikan dan latihan survival saya jadi ingat kalau dulu saya pernah seperti mereka. Melihat mereka yang kesakitan, kelelahan, sampai terkadang hilang kesadaran. Ada juga seorang kawan yang bilang memasuki hari ketiga sampai hari kesepuluh peserta diklat mirip anak autis.
Anak-anak yang mengalami gangguan atau kesulitan dalam bersosialisasi dengan yang lain. Seolah memasuki dunia yang berbeda, semua menyeramkan dan menyedihkan. Hidup seperti dalam cengkraman tatanan yang serba sulit dan tak pasti, tak tahu kapan kita bisa istirahat, makan, minum atau menikmati hidup. Semua dalam bayang-bayang gelap, kita harus waspada bila ingin selamat.
Perlakuan yang tidak menyenangkan, itu yang pertama harus diterima dan dirasakan peserta. Bahwa dunia tak seindah apa yang dipikirkan. Perlu banyak persiapan bila kita ingin hidup aman dan tentram. Ada keahlian yang harus dimiliki untuk tetap bertahan hidup.
Waktu berjalan seolah tak ada akhir kecuali keyakinan bahwa semua akan indah pada waktunya. Tak bisa menentukan hari ini hari apa atau jam berapa, semua sama saja tak ada tanda-tanda yang bisa menyelamatkan diri kita kecuali daya tahan kita. Tak perlu kekuatan besar yang penting bisa menjaga bahwa kita dalam keadaan sadar sepenuhnya.
Selama menjalani diklat yang ada hanya penyesalan kenapa dulu secara sadar saya memasukan diri kita pada ruang dan tempat yang tidak mengenakan. Sama seperti itu mungkin dalam hidup kita pernah menyesal kenapa kita mesti ada dan menjalani hal yang tidak menyenagkan dalam hidup. Tapi semua itu akan terbantahkan bila telah berakhir. Selesai diklat kita akan orgasme, bahwa kita telah melalui satu tahapan yang sangat sulit dalam hidup. Tidak semua orang mampu melaluinya tapi kita memilih untuk melaluinya secara sengaja dan sadar.
Sama seperti itu, kelak bila kita tua pasti akan tersenyum bangga dan bahagia bahwa kita telah pernah hidup. Berbuat banyak hal, memberi manfaat dan kenangan yang tak pantas dilupakan.
Saat ini mungkin kita belum merasakan orgasme tersebut karena kita baru berproses. Tunggu saatnya selesai proses dan kita tuai hasil yang telah kita lalui dalam perjalanan hati dan pikiran.
Anak-anak yang mengalami gangguan atau kesulitan dalam bersosialisasi dengan yang lain. Seolah memasuki dunia yang berbeda, semua menyeramkan dan menyedihkan. Hidup seperti dalam cengkraman tatanan yang serba sulit dan tak pasti, tak tahu kapan kita bisa istirahat, makan, minum atau menikmati hidup. Semua dalam bayang-bayang gelap, kita harus waspada bila ingin selamat.
Perlakuan yang tidak menyenangkan, itu yang pertama harus diterima dan dirasakan peserta. Bahwa dunia tak seindah apa yang dipikirkan. Perlu banyak persiapan bila kita ingin hidup aman dan tentram. Ada keahlian yang harus dimiliki untuk tetap bertahan hidup.
Waktu berjalan seolah tak ada akhir kecuali keyakinan bahwa semua akan indah pada waktunya. Tak bisa menentukan hari ini hari apa atau jam berapa, semua sama saja tak ada tanda-tanda yang bisa menyelamatkan diri kita kecuali daya tahan kita. Tak perlu kekuatan besar yang penting bisa menjaga bahwa kita dalam keadaan sadar sepenuhnya.
Selama menjalani diklat yang ada hanya penyesalan kenapa dulu secara sadar saya memasukan diri kita pada ruang dan tempat yang tidak mengenakan. Sama seperti itu mungkin dalam hidup kita pernah menyesal kenapa kita mesti ada dan menjalani hal yang tidak menyenagkan dalam hidup. Tapi semua itu akan terbantahkan bila telah berakhir. Selesai diklat kita akan orgasme, bahwa kita telah melalui satu tahapan yang sangat sulit dalam hidup. Tidak semua orang mampu melaluinya tapi kita memilih untuk melaluinya secara sengaja dan sadar.
Sama seperti itu, kelak bila kita tua pasti akan tersenyum bangga dan bahagia bahwa kita telah pernah hidup. Berbuat banyak hal, memberi manfaat dan kenangan yang tak pantas dilupakan.
Saat ini mungkin kita belum merasakan orgasme tersebut karena kita baru berproses. Tunggu saatnya selesai proses dan kita tuai hasil yang telah kita lalui dalam perjalanan hati dan pikiran.
Dulu Era Sinetron, Kini Era Reality Show
Menyimak lika-liku manusia sungguh menyenangkan. Sering kali menguras air mata atau memang diseting untuk menguras air mata penikmat. Sajian dengan kemasan eksploitasi sisi-sisi emosional yang terkadang mengesampingkan akal sehat.
Dengan berbagai kesamaan latar belakang bisa membuat kita memiliki alasan untuk terlibat, masuk dalam arena atau drama yang disajikan media.
Semua media sama saja dari media cetak, audio ataupun audio video mengajak kita masuk kedalamnya. Paling mudah lihatlah televise, kalau dulu zamannya sinetron yang menampilkan sisi heroisme sekarang telah berubah. Lebih menampilkan sisi humanisme dengan mengedepankan emosional. Penonton dijaga agar tidak beranjak dari tempat duduk meski hanya ke toilet untuk buang air kecil.
Seting yang dibuat seolah menyihir rasa keingin tahuan penonton akan kelanjutan tokoh yang tertindas. Banyak ibu-ibu yang kadang lupa mengurus anak ataupun keluarga karena terlalu asyik di depan layar kaca.
Eranya telah berubah, tahun ini bukan era sinetron. Tahun 2009 menjadi era reality show, sama-sama menguras air mata. Kalau ingin membuktikan setelah shalat asar nyalakan televise, pasti akan kita temukan acara reality show dan akan terus tayang menjelang maghrib. Semua sama saja disetiap stasiun telah disediakan tinggal menyesuaikan minat.
Tayangan ini ternyata lebih mendongkrak rating. Mampu menggugah rasa penonton bukan hanya pada tataran simpati tapi lebih dalam berupa empati. Atau kalau mau lebih ekstrim semuanya itu hanya perasaan sesaat semata.
Semua tayangan tersebut dibutuhkan banyak air mata, kalau tidak bisa air mata kejujuran cukuplah air mata buaya yang penting masyarakat kita yang haus akan tontonan hati terpuaskan. Ketika menikmati kita tidak perlu berfikir dan mengernyitkan dahi sebenarnya apa yang ingin disampaikan.
Tayangan yang mengedepankan rasio atau penalaran telah berkurang. Masyarakat lebih ingin di nina bobokan dengan melihat orang yang lemah, teraniaya atau kalau perlu tertindas.
Semua serba instant. Apa yang disajikan memberi efek besar tapi sesaat. Bila tayangan selesai berarti selesai sudah wisata emosional kita. Bila ingin menikatinya tinggal tunggu keesokan hari pasti disajikan kembali.
Tidak cukup sekali melihat dan mengambil hikmah yang ada di dalamnya. Pemanjaan yang terencana dari pemodal bagi masyarakat yang tercekoki apa kata media. Masyarakat tinggal mengamini dan menimati saja atau mulai dari sekarang matikan televise dan beralih pada hal nyata disekitar kita. Sesuatu yang bukan hasil rekayasa tapi lebih membumi dan ada disamping kita.
Dengan berbagai kesamaan latar belakang bisa membuat kita memiliki alasan untuk terlibat, masuk dalam arena atau drama yang disajikan media.
Semua media sama saja dari media cetak, audio ataupun audio video mengajak kita masuk kedalamnya. Paling mudah lihatlah televise, kalau dulu zamannya sinetron yang menampilkan sisi heroisme sekarang telah berubah. Lebih menampilkan sisi humanisme dengan mengedepankan emosional. Penonton dijaga agar tidak beranjak dari tempat duduk meski hanya ke toilet untuk buang air kecil.
Seting yang dibuat seolah menyihir rasa keingin tahuan penonton akan kelanjutan tokoh yang tertindas. Banyak ibu-ibu yang kadang lupa mengurus anak ataupun keluarga karena terlalu asyik di depan layar kaca.
Eranya telah berubah, tahun ini bukan era sinetron. Tahun 2009 menjadi era reality show, sama-sama menguras air mata. Kalau ingin membuktikan setelah shalat asar nyalakan televise, pasti akan kita temukan acara reality show dan akan terus tayang menjelang maghrib. Semua sama saja disetiap stasiun telah disediakan tinggal menyesuaikan minat.
Tayangan ini ternyata lebih mendongkrak rating. Mampu menggugah rasa penonton bukan hanya pada tataran simpati tapi lebih dalam berupa empati. Atau kalau mau lebih ekstrim semuanya itu hanya perasaan sesaat semata.
Semua tayangan tersebut dibutuhkan banyak air mata, kalau tidak bisa air mata kejujuran cukuplah air mata buaya yang penting masyarakat kita yang haus akan tontonan hati terpuaskan. Ketika menikmati kita tidak perlu berfikir dan mengernyitkan dahi sebenarnya apa yang ingin disampaikan.
Tayangan yang mengedepankan rasio atau penalaran telah berkurang. Masyarakat lebih ingin di nina bobokan dengan melihat orang yang lemah, teraniaya atau kalau perlu tertindas.
Semua serba instant. Apa yang disajikan memberi efek besar tapi sesaat. Bila tayangan selesai berarti selesai sudah wisata emosional kita. Bila ingin menikatinya tinggal tunggu keesokan hari pasti disajikan kembali.
Tidak cukup sekali melihat dan mengambil hikmah yang ada di dalamnya. Pemanjaan yang terencana dari pemodal bagi masyarakat yang tercekoki apa kata media. Masyarakat tinggal mengamini dan menimati saja atau mulai dari sekarang matikan televise dan beralih pada hal nyata disekitar kita. Sesuatu yang bukan hasil rekayasa tapi lebih membumi dan ada disamping kita.
Menanti Kelahiran Untuk Persiapan Dewasa
Meski saya laki-laki, saya sependapat kalau momen menjelang kelahiran sebagai masa yang sangat menegangkan. Masa-masa yang sangat krusial akan suatu nasib. Si jabang bayi akan lahir selamat sehat dan normal atau ia akan lahir dengan keadaan cacat, tidak sempurna atau sakit-sakitan.
Perasaan yang dialami bukan saja oleh si ibu yang akan melahirkan tapi juga oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Rasa senang akan kelahiran anggota baru dibarengi dengan ketakutan kalau-kalau terjadi sesuatu kepadanya. Semua perasaan campur aduk jadi satu hingga kita sulit mengungkapkan dalam kata-kata.
Hal ini terjadi bukan hanya pada kelahiran pertama, kedua atau keberapa. Semua sama menegangkan, adanya perasaan tidak menentu.
Kelahiran si jabang bayi memberi harapan baru. Harapan akan masa depan yang lebih baik, lebih cerah, lebih jelas dan memberi manfaat pada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Memberi perubahan dalam setiap masa. Dimulai dari kelahiran, tumbuh besar untuk menjadi dewasa. Mencapai kemapanan secara penuh lahir batin penuh keseimbangan. Memang sulit untuk besar dan dewasa tapi itu bukan sesuatu yang tidak mungkin diraih. Perlunya daya upaya, totalitas dalam setiap penyelesaian masalah yang ada. Bukan menghindar karena itu hanya akan menunda masalah sebab. Menyelesaikan masalah saat ini dengan berpikir jauh kedepan sehingga kelak tidak akan timbul lagi.
Belajar dari apa yang telah dilakukan orang lain. Benar bila pengalaman adalah guru yang paling berharga tapi alangkah cerdiknya bila kita bisa menyelesaikan masalah dari kesalahan orang lain.
Perlu juga kita mengalami kegagalan karena hal itu akan membuat kita senantiasa rendah hati bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang sempurna. Tak ada nilai seratus persen untuk manusia karena itu hanya milik Tuhan.
Apa yang kita anggap benar saat ini belum tentu bagi anak cucu kita kelak. Tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Semua dinamis kalau kita ingin merasa hidup. Apa yang kita lakukan harus lebih baik dari hari kemarin. Ada sebuah usaha untuk belajar menjadi lebih baik dan menjadi manusia pembelajar.
Sudah bukan saatnya hanya menunggu petunjuk tentang apa yang harus kita lakukan untuk menyongsong masa depan. Saatnya bagi kita untuk menyiapkan jalur yang akan kita lalui. Jalur yang berbeda, dengan pertimbangan ada unsur mendidik dan membuat kita menikmati apa yang kita lakukan, lebih menyenangkan bukan asal sampai tujuan tapi bikin hidup lebih hidup.
Untuk tumbuh besar dan dewasa memang tidak semudah membalik telapak tangan tapi semua masih mungkin selama ada keyakinan bahwa kita hidup bukan hanya untuk diri sendiri tapi lebih berorientasi memberi manfaat bagi orang lain.
Perasaan yang dialami bukan saja oleh si ibu yang akan melahirkan tapi juga oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Rasa senang akan kelahiran anggota baru dibarengi dengan ketakutan kalau-kalau terjadi sesuatu kepadanya. Semua perasaan campur aduk jadi satu hingga kita sulit mengungkapkan dalam kata-kata.
Hal ini terjadi bukan hanya pada kelahiran pertama, kedua atau keberapa. Semua sama menegangkan, adanya perasaan tidak menentu.
Kelahiran si jabang bayi memberi harapan baru. Harapan akan masa depan yang lebih baik, lebih cerah, lebih jelas dan memberi manfaat pada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Memberi perubahan dalam setiap masa. Dimulai dari kelahiran, tumbuh besar untuk menjadi dewasa. Mencapai kemapanan secara penuh lahir batin penuh keseimbangan. Memang sulit untuk besar dan dewasa tapi itu bukan sesuatu yang tidak mungkin diraih. Perlunya daya upaya, totalitas dalam setiap penyelesaian masalah yang ada. Bukan menghindar karena itu hanya akan menunda masalah sebab. Menyelesaikan masalah saat ini dengan berpikir jauh kedepan sehingga kelak tidak akan timbul lagi.
Belajar dari apa yang telah dilakukan orang lain. Benar bila pengalaman adalah guru yang paling berharga tapi alangkah cerdiknya bila kita bisa menyelesaikan masalah dari kesalahan orang lain.
Perlu juga kita mengalami kegagalan karena hal itu akan membuat kita senantiasa rendah hati bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang sempurna. Tak ada nilai seratus persen untuk manusia karena itu hanya milik Tuhan.
Apa yang kita anggap benar saat ini belum tentu bagi anak cucu kita kelak. Tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Semua dinamis kalau kita ingin merasa hidup. Apa yang kita lakukan harus lebih baik dari hari kemarin. Ada sebuah usaha untuk belajar menjadi lebih baik dan menjadi manusia pembelajar.
Sudah bukan saatnya hanya menunggu petunjuk tentang apa yang harus kita lakukan untuk menyongsong masa depan. Saatnya bagi kita untuk menyiapkan jalur yang akan kita lalui. Jalur yang berbeda, dengan pertimbangan ada unsur mendidik dan membuat kita menikmati apa yang kita lakukan, lebih menyenangkan bukan asal sampai tujuan tapi bikin hidup lebih hidup.
Untuk tumbuh besar dan dewasa memang tidak semudah membalik telapak tangan tapi semua masih mungkin selama ada keyakinan bahwa kita hidup bukan hanya untuk diri sendiri tapi lebih berorientasi memberi manfaat bagi orang lain.
Langganan:
Postingan (Atom)